Peristiwa Ambalat. Peristiwa ini tidak dihebohkan di Malaysia atas sebab-sebab keselamatan. Kerajaan Malaysia telah bersedia dari awal untuk menamatkan perebutan kawasan ini di meja rundingan. Tetapi lain permainannya di kacamata media Indon.
Sengeketa ini dihangatkan. Perasaan benci rakyat Indon kepada Malaysia semakin meluap-luap. Sentimen kedaulatan tanah air dibakar didalam diri setiap rakyat Indon yang bermajoriti besar adalah penganut agama Islam.
Apakah permainan mereka ini? Membakar semangat kedaulatan tanah air melebihi ikatan saudara sesama Islam.
Perasaan ini yang telah dimanipulasikan oleh CIA, M16 dan MOSSAD untuk mengawal pemikiran dan tindakkan pemimpin negara-negara di Asia Tenggara ini. Agen-agen jahat mereka bergerak melalui NGO-NGO, pembantu-pembantu pemimpin negara dan syarikat-syarikat yang ditubuhkan untuk membiayai propaganda jahat mereka.
Oh,Tanahair ku..mampukah kau bertahan...
Sengketa Ambalat di Mata Media Indonesia.
Ingat Peristiwa Ambalat tahun 2005? Untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia yang damai, seorang kepala negara turun dan memastikan persiapan pertahanan pasukan di garis depan.
Itu menunjukkan, pemerintah Indonesia telah habis kesabaran, dan secara sungguh-sungguh menganggap klaim sepihak Malaysia atas Ambalat sebagai tantangan perang. Situasi kala itu lebih panas ketimbang ketegangan sekarang.
Saat itu, lagu patriotik “Maju Tak Gentar” umpamanya, diperdengarkan di Metro TV berulang-ulang, mengiringi tayangan gambar parade kekuatan angkatan darat, laut, dan udara, mengikuti siaran berita perkembangan terkini konflik. Metro TV juga berkali-kali mempertunjukkan pembakaran bendera Malaysia di beberapa daerah serta orasi marah pengunjuk rasa di depan kedutaan besar negeri jiran itu.
Isu Ambalat menjadi sorotan media massa setelah Petronas menyerahkan konsesi pertambangan di perairan itu kepada perusahaan minyak gabungan Inggris-Belanda Shell. Nota protes Departemen Luar Negeri kepada Malaysia diabaikan, bahkan Perdana Meteri Ahmad Badawi mengklaim bahwa Ambalat adalah wilayah sah Malaysia sesuai peta nasional yang dibuat negara itu pada tahun 1979. Meskipun begitu, peta itu takpernah diakui negara-negara tetangga serantau.
Dalam pertimbangan jurnalistik, sengketa Ambalat memenuhi syarat sebagai berita bernilai tinggi: agresi, kedaulatan wilayah, harga diri bangsa. Kata-kata kunci itu mampu memanaskan kepala orang Indonesia dan menimbulkan situasi ketidakpastian politis serta ketidakseimbangan psikologis.
Maka, jadilah isu Ambalat kepala berita di media cetak dan tayangan kabar unggulan di televisi untuk beberapa hari dan terus disorot sampai dua pekan.
Media Indonesia: Perlu Garis Keras terhadap Musuh
Pada tanggal 4 Maret 2005, misalnya, Media Indonesia memampang foto pada halaman pertama tentang sebuah kapal perang Tentara Nasional Indonesia dan sebuah pesawat pengintai yang berpatroli di perairan Ambalat, Laut Sulawesi. Di bawahnya terdapat kotak yang berjudul “Presiden Perintahkan TNI Jaga Ambalat” yang diselipkan gambar berwarna peta Kalimantan, wilayah Ambalat, dan posisi kapal-kapal perang kedua negara.
Di dalam kotak itu juga terdapat informasi mengenai kronologi ketegangan dan insiden yang sempat terjadi sebelumnya. Pada rubrik Polkam halaman 9 Media Indonesia juga mengangkat berita tentang penolakan Kedutaan Besar Malaysia atas permintaan beberapa anggota Dewan Perwakiklan Rakyat beraudiensi dengan mereka.
Berita kenaikan tarif angkutan sebagai dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) diletakkan sebagai kepala berita pada tanggal 5, sedangkan berita foto memperlihatkan Megawati Soekarnoputri bersalaman dengan menteri reunifikasi Korea Selatan.
Akan tetapi, tajuk rencana berjudul “Perlu Garis Keras di Blok Ambalat” memperlihatkan bahwa jajaran redaksi memandang isu ini sangat penting.” Media Indonesia mengkhawatirkan sikap presiden masih terlalu lembek untuk menghadapi “negara yang sedang dirasuk kerakusan.”
Bagi Media Indoensia, Malaysia “bisa berwajah manis, tapi berkelakuan sebaliknya.” Hubungan kedua negara serumpun ini, tulis tajuk ini, “harus dilihat dan diperlakukan secara rasional dan mengubur romantisme sesama puak Melayu.” Dalam hal kedaulatan negara, tulis tajuk ini lagi, “TNI tak usah ragu-ragu menghajarnya agar Malaysia tidak bertindak semaunya di Ambalat.”
Masih pada halaman muka, Media Indonesia juga memunculkan kotak berjudul “Lima Puluh Persen Kapal Perang TNI AL Siap Dikerahkan ke Perbatasan.” Harian ini juga meberikan tabel perbandingan kekuatan angkatan laut kedua negara, seolah perang benar-benar sudah di ambang pintu.
Media Indonesia jelas memperlihatkan sikap oposisi terhadap Malaysia secara keras dan terang-terangan menempatkan Malaysia dalam konflik Ambalat ini sebagai ‘musuh.’
Pada tanggal 6, misalnya, harian ini mengangkat kepala berita “KRI Rencong Usir Kapal AL Malaysia.” Harian ini bahkan menurunkan tajuk lagi berjudul “Mari Sombong kepada Malaysia.” Perlakuan buruk Malaysia terhadap Indonesia tidak sepadan dengan kontribusi ratusan ribu tenaga kerja Indonesia terhadap perekonomian negara itu sehingga, dalam pandangan harian ini, “Seharusnya mendorong pemerintah Indonesia tidak bermuka manis dengan tetangga bernama Malaysia.”
Bahkan pada tanggal 8, harian ini memampang foto presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dengan mimik tegas menaiki tangga kapal perang di Pelabuhan Maludung, Tarakan, Kaliman Timur sambil melambaikan tangan. Foto itu memenuhi hampir sepertiga halaman dengan ambilan gambar mulai kepala sampai ke lutut dengan latar belakang kapal perang KRI Karel Satsui Tubun.
Kepala berita ‘Ambalat Siaga Tempur, Badawi Telepon SBY’ dengan huruf ukuran besar tercetak di bagian atas foto itu. Dengan analisis semiotika, bisa ditafsirkan bahwa redaksi sengaja memilih foto ini dan memasang di halaman depan untuk membangkitkan semangat patriotik dan kebanggaan nasional para pembaca bahwa “Indonesia siap menghadapi Malaysia untuk mempertahankan Ambalat.”
Begitu pula pada tanggal 9, harian ini memasang kepala berita “SBY Tinjau Kesiapan Tempur TNI” dengan foto presiden memastikan kesiapan prajurit marinir di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. Salah satu subjudulnya ditulis “Ketegangan Meningkat.”
Kompas: Malaysia Melecehkan Kita, Harus Ditindak Tegas
Sikap oposisi terhadap Malaysia juga ditunjukkan oleh Kompas. Lebih lunak, lebih rasional, tapi tetap tajam. Pada tanggal 6, misalnya Kompas mengangkat kepala berita “Kapal RI-Malaysia Berhadap-hadapan” (bandingkan dengan Media Indonesia yang pada hari yang sama memuat judul “KRI Rencong Usir Kapal Malaysia”).
Begitu juga, pada tanggal 7, kepala barita harian ini berjudul “Malaysia Kembali Lakukan Provokasi.” Berbeda dengan Media Indonesia yang pada tanggal 8 melaporkan berita utama yang menggambarkan ketegangan tinggi, kepala berita Kompas pada hari yang sama diberi judul “Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia.”
Namun begitu, tajuk rencana hari itu yang berjudul “Bagaimana Mungkin Malaysia Pun Melecehkan Kita?” sesungguhnya memperlihatkan kegusaran harian ini terhadap negeri jiran itu. Menurut Kompas, banyak perilaku Malaysia yang menyakitkan hati, “tapi dengan semangat tahu diri, kita menerimanya.” Kompas menulis bahwa tanggapan atas pelanggaran wilayah Indonesia masuk akal jika “harus lebih tegas dan jelas” (bandingkan dengan tajuk Media Indonesia yang menulis “perlu garis keras di blok Ambalat”).
Pada tanggal 9 dan 10 Kompas juga menurunkan kepala berita “Ketegangan di Daerah Perbatasan Mereda” dan “RI-Malaysia Sepakati Penyelesaian Damai” dengan foto pasukan marinir berjaga-jaga di tugu perbatasan Indonesia Malaysia.di Sebatik.
Ini menunjukkan meskipun mengharapkan pemerintah “bertindak tegas,” Kompas berhaluan lebih moderat, rasional ketimbang Media Indonesia.
Kompas, misalnya mengajukan argumen kepemilikan Indonesia atas Ambalat dengan menurunkan berita opini berjudul “Ambalat Lanjutan Alamiah Kaltim” yang mengutip pandangan pakar hukum laut internasional, Hasyim Djalal.
Republika: Selesaikan dengan Semangat Sesama Muslim-Melayu
Republika juga mengangkat persengketaan perbatasan dengan Malaysia, tapi dengan hati-hati dan sama sekali tidak memperlihatkan kegusaran, atau bahkan kemarahan. Pada tanggal 3 Maret, misalnya, harian ini menurunkan berita, “RI Kirim Kapal Perang ke Perbatasan Malaysia.” Berita pengiriman kapal perang ini tidak diangkat sebagai kepala berita, tapi diletakkan di bawah, meskipun di halaman muka.
Pada tanggal 5, berita tentang konflik perbatasan ini hanya dimunculkan dalam foto kecil di halaman muka. Tiada berita sejenis pada halaman dalam.
Harian ini sempat menurunkan kepala berita “Kapal Perang RI-Malaysia ‘Adu Mulut’” pada tanggal 6 yang yang mengabarkan ketegangan di perbatasan. Tapi pada tanggal 7 harian ini menurunkan kepala berita yang mendinginkan suasana, “RI-Malaysia Siap Redakan Ketegangan,” sedangkan pada tanggal 9, Republika menurunkan kepala berita “TNI AL Kurangi Kapal di Ambalat.” Kemudian pada tanggal 10, “RI-Malaysia Sepakat Merujuk UNCLOS.”
Sikap hati-hati Republika ini terbaca pada tajuknya tanggal 7 “Tahan Emosi.” Republika mengaku ada persoalan dalam perbatasan Malaysia-Indonesia yang bermula pada kasus Sipadan-Ligitan ketika Malaysia melanggar kesepakatan status quo dengan Indonesia.
Republika menulis bahwa “kita harus mempertahankan setiap jengkal tanah kita,” tapi mengingat persaudaraan kedua negara, penyelesaian semestinya ditempuh “dengan cara-cara bijak, bukan kekuatan bersenjata-apalagi melibatkan emosi massa.” Republika berpendapat, “ada kekuatan yang ingin kedua negara berhadap-hadapan,” tapi “semangat Melayu semestinya mengikat kedua negara.”
Pada halaman muka, dalam berita yang kecil berjudul “Selesaikan Secara Bilateral” Republika mengutip pernyataan Din Syamsuddin agar persoalan ini diselesaikan secara bilateral. Berita ini mengutip pernyataan Din bahwa bila sengketa Ambalat diselesaikan dengan konflik terbuka, kedua belah pihak akan rugi, yang beruntung pihak ketiga. Selain itu, ia “akan merugikan Islam.”
Sudut pandang sejenis juga diperlihatkan dalam berita “MUI Akan Kirim Tim ke Malaysia” pada tanggal 9. Selain itu, pada tanggal 12 Republika juga menurunkan berita pada halaman muka yang mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, “Patroli di Perbatasan Tak Berarti Perang.”
* * *
Terlihat bahwa terdapat perbedaan pola, atau bingkai pemberitaan pada Media Indonesia, Kompas, dan Republika. Jika ketiga surat kabar ini diletakkan, boleh dibilang Media Indonesia berada pada garis keras: mengangkat sengketa Ambalat dengan emosional. Kompas, garis moderat, memahami jika tindakan tegas diambil pemerintah, sedangkan Republika, garis lunak, menginginkan konflik bersenjata dihindari demi persaudaraan Muslim dan serumpun. Namun, secara umum, ketiga surat kabar itu menyatakan keberpihakan kepada posisi Indonesia.
Fenomena ini menarik jika dikaitkan dengan pendapat Andreas Harsono bahwa ketika bekerja, wartawan harus melepaskan segala macam identitas primordial, misalnya kewarganegaraan.
Kewarganegaraan, kata Andreas, hanyalah untuk “keperluan praktis pribadi atau memperkaya pemahaman” dan takkan “mendikte liputan.” Akan tetapi, kenyataannya wartawan mau tidak mau berhadap-hadapan struktur komunitas yang mempengaruhi dirinya semenjak lahir dan tumbuh. Salah satunya perasaan kebangsaan ini meskipun mungkin ia tak menyadarinya.
Selain perkara itu, wartawan juga bersentuhan dengan kebijakan editorial, ataupun kredo, nilai, serta norma perusahaan tempat ia bekerja. Kepala-kepala berita surat kabar kita yang mengobarkan sentimen kebangsaan dalam sengketa Ambalat bisa jadi merupakan kebijakan perusahaan guna meraih kesempatan memperbesar tiras dan memperluas pasar. Namun, bisa juga ia dilihat dari sisi ideologis.
Media Indonesia, umpamanya, seringkali diposisikan sebagai surat kabar yang pragmatis. Akan tetapi, fakta bahwa ia dimiliki oleh Surya Paloh, seorang pengusaha asal Aceh, kader partai Golongan Karya, sekaligus seorang nasionalis, dalam banyak hal mempengaruhi kebijakan editorial. Begitu juga Jakob Oetama, seorang Jawa-Katolik-Tionghoa, membangun Kompas dengan menanamkan nilai-nilai Jawa, rasionalitas, dan kemoderatan.
Adapun Republika didirikan oleh kelompok intelektual Muslim, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang merupakan kekuatan sosial-politik kelas menengah Muslim di Indonesia, yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian kebangkitan komunitas Islam global.
Dengan kata lain, obyektivitas jurnalistik idealisme yang hendaknya dituju oleh pekerja media, tapi memang pada praktiknya ia bisa absurd lantaran banyak faktor yang melencengkannya. Atau mungkin, untuk kasus Ambalat, memang tidak perlu?
Kredit: Junarto.Wordpress
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment