Pages

Monday, November 21, 2011

IKATAN SAUDARA ISLAM MELAYU SELAMATKAN NEGARA

Peristiwa Ambalat. Peristiwa ini tidak dihebohkan di Malaysia atas sebab-sebab keselamatan. Kerajaan Malaysia telah bersedia dari awal untuk menamatkan perebutan kawasan ini di meja rundingan. Tetapi lain permainannya di kacamata media Indon.

Sengeketa ini dihangatkan. Perasaan benci rakyat Indon kepada Malaysia semakin meluap-luap. Sentimen kedaulatan tanah air dibakar didalam diri setiap rakyat Indon yang bermajoriti besar adalah penganut agama Islam.

Apakah permainan mereka ini? Membakar semangat kedaulatan tanah air melebihi ikatan saudara sesama Islam.

Perasaan ini yang telah dimanipulasikan oleh CIA, M16 dan MOSSAD untuk mengawal pemikiran dan tindakkan pemimpin negara-negara di Asia Tenggara ini. Agen-agen jahat mereka bergerak melalui NGO-NGO, pembantu-pembantu pemimpin negara dan syarikat-syarikat yang ditubuhkan untuk membiayai propaganda jahat mereka.

Oh,Tanahair ku..mampukah kau bertahan...

Sengketa Ambalat di Mata Media Indonesia.

Ingat Peristiwa Ambalat tahun 2005? Untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia yang damai, seorang kepala negara turun dan memastikan persiapan pertahanan pasukan di garis depan.

Itu menunjukkan, pemerintah Indonesia telah habis kesabaran, dan secara sungguh-sungguh menganggap klaim sepihak Malaysia atas Ambalat sebagai tantangan perang. Situasi kala itu lebih panas ketimbang ketegangan sekarang.

Saat itu, lagu patriotik “Maju Tak Gentar” umpamanya, diperdengarkan di Metro TV berulang-ulang, mengiringi tayangan gambar parade kekuatan angkatan darat, laut, dan udara, mengikuti siaran berita perkembangan terkini konflik. Metro TV juga berkali-kali mempertunjukkan pembakaran bendera Malaysia di beberapa daerah serta orasi marah pengunjuk rasa di depan kedutaan besar negeri jiran itu.

Isu Ambalat menjadi sorotan media massa setelah Petronas menyerahkan konsesi pertambangan di perairan itu kepada perusahaan minyak gabungan Inggris-Belanda Shell. Nota protes Departemen Luar Negeri kepada Malaysia diabaikan, bahkan Perdana Meteri Ahmad Badawi mengklaim bahwa Ambalat adalah wilayah sah Malaysia sesuai peta nasional yang dibuat negara itu pada tahun 1979. Meskipun begitu, peta itu takpernah diakui negara-negara tetangga serantau.

Dalam pertimbangan jurnalistik, sengketa Ambalat memenuhi syarat sebagai berita bernilai tinggi: agresi, kedaulatan wilayah, harga diri bangsa. Kata-kata kunci itu mampu memanaskan kepala orang Indonesia dan menimbulkan situasi ketidakpastian politis serta ketidakseimbangan psikologis.

Maka, jadilah isu Ambalat kepala berita di media cetak dan tayangan kabar unggulan di televisi untuk beberapa hari dan terus disorot sampai dua pekan.

Media Indonesia: Perlu Garis Keras terhadap Musuh

Pada tanggal 4 Maret 2005, misalnya, Media Indonesia memampang foto pada halaman pertama tentang sebuah kapal perang Tentara Nasional Indonesia dan sebuah pesawat pengintai yang berpatroli di perairan Ambalat, Laut Sulawesi. Di bawahnya terdapat kotak yang berjudul “Presiden Perintahkan TNI Jaga Ambalat” yang diselipkan gambar berwarna peta Kalimantan, wilayah Ambalat, dan posisi kapal-kapal perang kedua negara.

Di dalam kotak itu juga terdapat informasi mengenai kronologi ketegangan dan insiden yang sempat terjadi sebelumnya. Pada rubrik Polkam halaman 9 Media Indonesia juga mengangkat berita tentang penolakan Kedutaan Besar Malaysia atas permintaan beberapa anggota Dewan Perwakiklan Rakyat beraudiensi dengan mereka.

Berita kenaikan tarif angkutan sebagai dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) diletakkan sebagai kepala berita pada tanggal 5, sedangkan berita foto memperlihatkan Megawati Soekarnoputri bersalaman dengan menteri reunifikasi Korea Selatan.

Akan tetapi, tajuk rencana berjudul “Perlu Garis Keras di Blok Ambalat” memperlihatkan bahwa jajaran redaksi memandang isu ini sangat penting.” Media Indonesia mengkhawatirkan sikap presiden masih terlalu lembek untuk menghadapi “negara yang sedang dirasuk kerakusan.”

Bagi Media Indoensia, Malaysia “bisa berwajah manis, tapi berkelakuan sebaliknya.” Hubungan kedua negara serumpun ini, tulis tajuk ini, “harus dilihat dan diperlakukan secara rasional dan mengubur romantisme sesama puak Melayu.” Dalam hal kedaulatan negara, tulis tajuk ini lagi, “TNI tak usah ragu-ragu menghajarnya agar Malaysia tidak bertindak semaunya di Ambalat.”

Masih pada halaman muka, Media Indonesia juga memunculkan kotak berjudul “Lima Puluh Persen Kapal Perang TNI AL Siap Dikerahkan ke Perbatasan.” Harian ini juga meberikan tabel perbandingan kekuatan angkatan laut kedua negara, seolah perang benar-benar sudah di ambang pintu.

Media Indonesia jelas memperlihatkan sikap oposisi terhadap Malaysia secara keras dan terang-terangan menempatkan Malaysia dalam konflik Ambalat ini sebagai ‘musuh.’

Pada tanggal 6, misalnya, harian ini mengangkat kepala berita “KRI Rencong Usir Kapal AL Malaysia.” Harian ini bahkan menurunkan tajuk lagi berjudul “Mari Sombong kepada Malaysia.” Perlakuan buruk Malaysia terhadap Indonesia tidak sepadan dengan kontribusi ratusan ribu tenaga kerja Indonesia terhadap perekonomian negara itu sehingga, dalam pandangan harian ini, “Seharusnya mendorong pemerintah Indonesia tidak bermuka manis dengan tetangga bernama Malaysia.”

Bahkan pada tanggal 8, harian ini memampang foto presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dengan mimik tegas menaiki tangga kapal perang di Pelabuhan Maludung, Tarakan, Kaliman Timur sambil melambaikan tangan. Foto itu memenuhi hampir sepertiga halaman dengan ambilan gambar mulai kepala sampai ke lutut dengan latar belakang kapal perang KRI Karel Satsui Tubun.

Kepala berita ‘Ambalat Siaga Tempur, Badawi Telepon SBY’ dengan huruf ukuran besar tercetak di bagian atas foto itu. Dengan analisis semiotika, bisa ditafsirkan bahwa redaksi sengaja memilih foto ini dan memasang di halaman depan untuk membangkitkan semangat patriotik dan kebanggaan nasional para pembaca bahwa “Indonesia siap menghadapi Malaysia untuk mempertahankan Ambalat.”

Begitu pula pada tanggal 9, harian ini memasang kepala berita “SBY Tinjau Kesiapan Tempur TNI” dengan foto presiden memastikan kesiapan prajurit marinir di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. Salah satu subjudulnya ditulis “Ketegangan Meningkat.”

Kompas: Malaysia Melecehkan Kita, Harus Ditindak Tegas

Sikap oposisi terhadap Malaysia juga ditunjukkan oleh Kompas. Lebih lunak, lebih rasional, tapi tetap tajam. Pada tanggal 6, misalnya Kompas mengangkat kepala berita “Kapal RI-Malaysia Berhadap-hadapan” (bandingkan dengan Media Indonesia yang pada hari yang sama memuat judul “KRI Rencong Usir Kapal Malaysia”).

Begitu juga, pada tanggal 7, kepala barita harian ini berjudul “Malaysia Kembali Lakukan Provokasi.” Berbeda dengan Media Indonesia yang pada tanggal 8 melaporkan berita utama yang menggambarkan ketegangan tinggi, kepala berita Kompas pada hari yang sama diberi judul “Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia.”

Namun begitu, tajuk rencana hari itu yang berjudul “Bagaimana Mungkin Malaysia Pun Melecehkan Kita?” sesungguhnya memperlihatkan kegusaran harian ini terhadap negeri jiran itu. Menurut Kompas, banyak perilaku Malaysia yang menyakitkan hati, “tapi dengan semangat tahu diri, kita menerimanya.” Kompas menulis bahwa tanggapan atas pelanggaran wilayah Indonesia masuk akal jika “harus lebih tegas dan jelas” (bandingkan dengan tajuk Media Indonesia yang menulis “perlu garis keras di blok Ambalat”).

Pada tanggal 9 dan 10 Kompas juga menurunkan kepala berita “Ketegangan di Daerah Perbatasan Mereda” dan “RI-Malaysia Sepakati Penyelesaian Damai” dengan foto pasukan marinir berjaga-jaga di tugu perbatasan Indonesia Malaysia.di Sebatik.

Ini menunjukkan meskipun mengharapkan pemerintah “bertindak tegas,” Kompas berhaluan lebih moderat, rasional ketimbang Media Indonesia.

Kompas, misalnya mengajukan argumen kepemilikan Indonesia atas Ambalat dengan menurunkan berita opini berjudul “Ambalat Lanjutan Alamiah Kaltim” yang mengutip pandangan pakar hukum laut internasional, Hasyim Djalal.

Republika: Selesaikan dengan Semangat Sesama Muslim-Melayu

Republika juga mengangkat persengketaan perbatasan dengan Malaysia, tapi dengan hati-hati dan sama sekali tidak memperlihatkan kegusaran, atau bahkan kemarahan. Pada tanggal 3 Maret, misalnya, harian ini menurunkan berita, “RI Kirim Kapal Perang ke Perbatasan Malaysia.” Berita pengiriman kapal perang ini tidak diangkat sebagai kepala berita, tapi diletakkan di bawah, meskipun di halaman muka.

Pada tanggal 5, berita tentang konflik perbatasan ini hanya dimunculkan dalam foto kecil di halaman muka. Tiada berita sejenis pada halaman dalam.

Harian ini sempat menurunkan kepala berita “Kapal Perang RI-Malaysia ‘Adu Mulut’” pada tanggal 6 yang yang mengabarkan ketegangan di perbatasan. Tapi pada tanggal 7 harian ini menurunkan kepala berita yang mendinginkan suasana, “RI-Malaysia Siap Redakan Ketegangan,” sedangkan pada tanggal 9, Republika menurunkan kepala berita “TNI AL Kurangi Kapal di Ambalat.” Kemudian pada tanggal 10, “RI-Malaysia Sepakat Merujuk UNCLOS.”

Sikap hati-hati Republika ini terbaca pada tajuknya tanggal 7 “Tahan Emosi.” Republika mengaku ada persoalan dalam perbatasan Malaysia-Indonesia yang bermula pada kasus Sipadan-Ligitan ketika Malaysia melanggar kesepakatan status quo dengan Indonesia.

Republika menulis bahwa “kita harus mempertahankan setiap jengkal tanah kita,” tapi mengingat persaudaraan kedua negara, penyelesaian semestinya ditempuh “dengan cara-cara bijak, bukan kekuatan bersenjata-apalagi melibatkan emosi massa.” Republika berpendapat, “ada kekuatan yang ingin kedua negara berhadap-hadapan,” tapi “semangat Melayu semestinya mengikat kedua negara.”

Pada halaman muka, dalam berita yang kecil berjudul “Selesaikan Secara Bilateral” Republika mengutip pernyataan Din Syamsuddin agar persoalan ini diselesaikan secara bilateral. Berita ini mengutip pernyataan Din bahwa bila sengketa Ambalat diselesaikan dengan konflik terbuka, kedua belah pihak akan rugi, yang beruntung pihak ketiga. Selain itu, ia “akan merugikan Islam.”

Sudut pandang sejenis juga diperlihatkan dalam berita “MUI Akan Kirim Tim ke Malaysia” pada tanggal 9. Selain itu, pada tanggal 12 Republika juga menurunkan berita pada halaman muka yang mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, “Patroli di Perbatasan Tak Berarti Perang.”

* * *

Terlihat bahwa terdapat perbedaan pola, atau bingkai pemberitaan pada Media Indonesia, Kompas, dan Republika. Jika ketiga surat kabar ini diletakkan, boleh dibilang Media Indonesia berada pada garis keras: mengangkat sengketa Ambalat dengan emosional. Kompas, garis moderat, memahami jika tindakan tegas diambil pemerintah, sedangkan Republika, garis lunak, menginginkan konflik bersenjata dihindari demi persaudaraan Muslim dan serumpun. Namun, secara umum, ketiga surat kabar itu menyatakan keberpihakan kepada posisi Indonesia.

Fenomena ini menarik jika dikaitkan dengan pendapat Andreas Harsono bahwa ketika bekerja, wartawan harus melepaskan segala macam identitas primordial, misalnya kewarganegaraan.

Kewarganegaraan, kata Andreas, hanyalah untuk “keperluan praktis pribadi atau memperkaya pemahaman” dan takkan “mendikte liputan.” Akan tetapi, kenyataannya wartawan mau tidak mau berhadap-hadapan struktur komunitas yang mempengaruhi dirinya semenjak lahir dan tumbuh. Salah satunya perasaan kebangsaan ini meskipun mungkin ia tak menyadarinya.

Selain perkara itu, wartawan juga bersentuhan dengan kebijakan editorial, ataupun kredo, nilai, serta norma perusahaan tempat ia bekerja. Kepala-kepala berita surat kabar kita yang mengobarkan sentimen kebangsaan dalam sengketa Ambalat bisa jadi merupakan kebijakan perusahaan guna meraih kesempatan memperbesar tiras dan memperluas pasar. Namun, bisa juga ia dilihat dari sisi ideologis.

Media Indonesia, umpamanya, seringkali diposisikan sebagai surat kabar yang pragmatis. Akan tetapi, fakta bahwa ia dimiliki oleh Surya Paloh, seorang pengusaha asal Aceh, kader partai Golongan Karya, sekaligus seorang nasionalis, dalam banyak hal mempengaruhi kebijakan editorial. Begitu juga Jakob Oetama, seorang Jawa-Katolik-Tionghoa, membangun Kompas dengan menanamkan nilai-nilai Jawa, rasionalitas, dan kemoderatan.

Adapun Republika didirikan oleh kelompok intelektual Muslim, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang merupakan kekuatan sosial-politik kelas menengah Muslim di Indonesia, yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian kebangkitan komunitas Islam global.

Dengan kata lain, obyektivitas jurnalistik idealisme yang hendaknya dituju oleh pekerja media, tapi memang pada praktiknya ia bisa absurd lantaran banyak faktor yang melencengkannya. Atau mungkin, untuk kasus Ambalat, memang tidak perlu?

Kredit: Junarto.Wordpress

Monday, November 14, 2011

Tricky Painting

Full of Mearning..how they trick you..
Never trust what your see..

Saturday, November 12, 2011

Jew is Melayu Mamak..

Yahudi mamak dari Kerala, India..dah lama sampai ke Lembah Bujang dan bertapak di Penang.

Yahudi mamak juga mungkin menguasai ekonomi dan sumber makanan dunia...cuba perhatikan persamaan hidung mereka..sama tak??

Kita yang perlu mempertahankan dari terus dimamah hingga tidak terdaya bangun melawan..kekal dalam jemaah.

Malaysian Jews

Is a term used to refer to Jews living in Malaysia, or those originally from the country. A good number used to live openly in the state of Penang until towards the end of the 1970's. They were also found elsewhere in the nation, especially in Negeri Sembilan and Malacca. Malaysian Jews consists mainly of Sephardic and Marrano Jewish descendents amongst the Kristang people (Portuguese descent Eurasians), Oriental Jews (the majority of whom are Baghdadi Jews), India's Cochin Jews, with the rest being Ashkenazi Jews and possibly Chinese Jews, who fled from Kaifeng, China, during the Communist take-over of mainland China from the Nationalist Chinese in 1949.


India's Cochin Jews

The first contact between Jews and the inhabitants of Malaya (later part of Malaysia) goes back to the 9th century AD on the riverbanks of the Bujang Valley, and later well into the 18th Century AD in the cosmopolitan bazaars of Malacca.

The presence of Sephardic Baghdadi Jews in Penang probably occurred at the turn of the 19th century as the fledgling British ruled entreport grew and attracted Jewish trading families like the Sassoons and Meyers from India. There was also significant emigration of Jews from the Ottoman province of Baghdad as a result of the persecutions of the governor, Daud Pasha, whose rule lasted from 1817 to 1831.

The first Baghdadi Jew known by name to have settled in Penang was Ezekiel Aaron Menasseh, who emigrated from Baghdad in 1895. Menasseh claimed to have been the only practicing Jew in Malaya for 30 years until after World War I, when a significant number of Baghdadi Jews began to settle in Malaya.

During the Japanese invasion of Malaya, the Penang Jewish community was evacuated to Singapore, and many were interred by the Japanese during the subsequent occupation of both Malaya and Singapore. After the war, a majority had emigrated to Singapore, Australia, Israel and the United States. By 1963 (formation of Malaysia), only 20 Penang Jewish families remained in the country.


Penang's only synagogue, located on 28, Nagore Road, closed down in 1976 as the community could no longer fulfill the minyan, a quorum of ten or more adult Jews assembled for purposes of fulfilling a public religious obligation.

Today, approximately 100 Jews who are refugees from Russia are said to reside in Malaysia. The original Penang Jewish community has ceased to exist with the death of Mordecai (Mordy) David Mordecai on 15 July 2011. The rest of the Penang Jews have either embraced Christianity or else have emigrated to other countries, especially with the rise of anti-semitic sentiments and anti-Israel policies pursued by the Malaysian government since the 1970s.

Jahudi Road (or Jew Road) in Penang, where the majority of the Penang Jewish population stayed, has since been renamed Jalan Zainal Abidin, erasing another legacy of the Jewish presence in Malaysia. The only significant presence remaining is the Jewish cemetery and the old, disused synagogue.

Many of the descendants of the Penang Jews are mainly seen in Singapore (such as ex late Chief Minister David Marshall, a Baghdadi Jew). Many also reside in Australia, Canada, New Zealand, the United Kingdom, and the United States, especially in New York, but their numbers are unknown. The majority of Penang Jews spoke Malay and English, whilst the rest spoke mainly Yiddish, Persian, Hebrew and also Arabic.

Thursday, November 10, 2011

Freemason Melayu; Ada atau Tiada..

Pertubuhan Freemason di Malaysia adalah didaftar di bawah Akta Pertubuhan 1966. Pada tahun 1977 ia mempunyai 55 perkumpulan (lodges) dan 2,984 ahli. Malah ketika menjawab soalan Tuan Guru Nik Abdul Aziz (PAS-Pengkalan Chepa) di parlimen pada 25 Oktober 1978,

Datuk Husein Onn berkata Kerajaan hingga kini tidak bercadang untuk mengharamkan pertubuhan (Freemason) itu walaupun mengakui ianya bercanggah dengan aqidah Islam dan ramai golongan elit dan berpengaruh dari kalangan umat Islam negara ini yang menyertainya.

Freemasonry serta tunjang Zionisme telah lama bertapakdi Malaysia. Freemasonry dikatakan telah berselindung di sebalik gerakan keagamaan di Malaysia. Hakikatnya,mereka membawa masyarakat ke arah kebebasan serta kehidupan anti-Tuhan.

Kajian secara terperinci perlu dilaksanakan terhadap kewujudan Freemasonry diMalaysia.
Antara bukti kewujudan Freemasonry adalah;

1.Sistem politik demokrasi British
2.Islam Liberal
3.Fahaman Sosialisme dan Komunisme
3.Freethinkers/Atheist
4.Rotary Club
5.Gereja anti-Khatolik (tidak semua)
6.Gerakan Sisters In Islam

Fremasonry adalah gerakan rahsia Yahudisme untuk menghancurkan agama-agama dan bangsa lain di dunia untuk menjadikan bangsa Yahudi sebagai penguasa tunggal dunia.

Baik Islam,Kristian,Hindu atau sebarang agama sekalipun,Freemasonry akan cuba menyerap kedalamnya dan merosakkan nilai-nilai baik setiap agama. 'Jew is threat to human civilization' Zionisme dan Freemasonry adalah nadi yahudi hari ini dan formula mereka mewujudkan negara Israel Raya.

Israel Raya bukan hanya sekitar Gaza...tetapi seluruh dunia. 'Bangsa-bangsa lain hanyalah haiwan peliharaan kaum yahudi'. Maka tiada satu bangsa pun akan terlepas daripada mata Zionisme 'the all seen eyes'...walau sekecil mana sekalipun...termasuk bangsa Melayu.

Sejarah di Malaysia.

Sekitar tahun 1930 - 1950 Freemason pernah mendapatkan penganutnya daripada murid-murid nakal Malay College KualaKangsar, Perak yang sering melanggar peraturan.

Golongan pelajar ini telah bertemu dengan seorang British setiapkali mereka 'mencuri keluar' dari asrama. Mereka sentiasa berlindung di rumah warga British tersebut dan disanalah mereka didekati oleh Freemasonry.

Warga British berkenaan merupakan penganut veteran Freemasonry dan mereka memperkenalkan anak-anak muda tersebut kepada gerakan rahsia itu dari A hingga Z. Kebetulan,di MCKK sendiri terdapat golongan pengajar yang kebanyakannya warga Britain ketika itu merupakan pengikut Freemasonry.

Fakta atau cerita ini adalah sedikit gambaran kepada bertapaknya Freemason, Zionisme dan Yahudisme di negara kita.Umat Islam perlu sedar bahwa 'iblis berjanji merosakkan manusia' bererti setiap daripada kita tidak akan terkecuali...sumpah Freemason juga berbunyi sama dengan sumpah iblis itu.

Wallahua'lam.

Artikel asal: http://ijoks2009.blogspot.com

Wednesday, November 2, 2011

Kaifeng: Bangsa cina ugama yahudi

Jarang kita dengar ada bangsa cina yang mengamalkan ugama yahudi. Cina yahudi berasal dari
Kaifeng dalam wilayah Henan, China.

Berlegar kabar angin didalam forum konon nyerr China akan diperintah oleh seorang cina yang berbangsa yahudi. Tak tahu lah..kita tunggu..

Di Malaysia pun mungkin ada melayu beragama yahudi..mustahil??

Takkk...Malaysia boleh!


KaiFeng Jew


Kaifeng, Jerusalem, a full-length documentary filmed over six years in Israel and China, follows the descendants of the Chinese Jewish community in the ancient capital city of Kaifeng on their quest to recover their Jewish heritage. It examines the community’s odd political situation, in which both China and Israel—each for its own reasons—refuse to recognize them as Jews.

The film focuses on the Jin family of Kaifeng—Shlomo, Dina, and their daughter Shalva—who managed to leave China for Israel in 1999, with the assistance of a Christian Zionist group. With no official status in Israel, but with dogged persistence and a unique brand of Jewish identity, the Jins try to communicate their extraordinary circumstances to the Israeli establishment and to educate the authorities as well as the public. The family endures many trials and tribulations. At one point Shlomo is even picked up by the police as an illegal migrant worker.

Insisting that they are already proper Jews, the family at first refuses to convert. Later, however, they go through the entire process, accepting that Kaifeng Jews must retrieve their Jewish background if they want to rejoin the Jewish people and make aliya. As Shlomo becomes more devout, he clings on to his original mission—to open the gates for the rest of the Kaifeng Jews.

In 2005, after completing the official conversion process, Shlomo and Dina visit Kaifeng, where he fulfills his dream of teaching other Jewish descendants about Judaism. While that dream is fulfilled, the prospects that the rest of the Descendants will be able to return to Judaism and Israel remains bleak.

This truly international story is told using interviews and footage of a type that is extremely difficult to shoot in China. The film will affect how Jews and non-Jews everywhere perceive the “lost“ Jewish communities all over the world and raise questions about what constitutes the global Jewish identity.